KONGSI SEN TIONG DI KUPANG

KONGSI SEN TIONG DI KUPANG

Oleh : Sonny Pellokila

G.P. Rouffaer adalah orang pertama yang mempublikasikan gambar atau foto tentang tempat pemujaan orang-orang Tionghoa (klenteng) di Kupang dari sisi eksterior. Foto atau gambar tersebut diambil (captured) oleh Rouffaer pada 3 April 1910, dan kemudian Rouffaer menuliskan nama dari bangunan klenteng itu dengan nama “Kongsi Sen-Tiong” (Rouffaer 1937:63). 

Pendirian atau pembangunan Kongsi Sen Tiong dengan konstruksi kayu terjadi pada paruh kedua abad ke 18, semenjak kepemimpinan Li Jingtang alias Chengyou sebagai kapten Cina di Kupang, atau sebelum kematian seorang wanita dari keluarga kaya pada tahun 1783 yang merupakan salah satu pendiri klenteng tersebut.

 Klenteng (tempat pemujaan orang-orang Tionghoa) hancur akibat gempa bumi dashyat yang melanda Kupang pada tahun 1793 (A.J. Lombard & C.S. Lombard 1998:396). Namun menurut misionaris Heijmering, peristiwa gempa dahsyat ini terjadi pada tahun 1795, dimana banyak rumah beratap genteng dan bangunan umum, termasuk gereja dan rumah tinggal roboh atau hancur (Heijmering 1847:197). Kemudian pada bulan Juni tahun 1797, perumahan-perumahan penduduk, kantor residen, gereja dan klenteng yang terletak disekitar pantai Kupang, hancur ketika agresi Inggris di Kupang (Heijmering 1847:196-199; Milles 150:33; dan Farram 2007:459). Pada tanggal 4 Agustus 1827, terjadi kebakaran hebat disekitar pemukiman baru dekat klenteng itu, dan dalam empat jam menghanguskan seratus rumah, dimana rumah-rumah yang terbakar adalah rumah batu dan klenteng (Milles 150:33). 

Kampung Cina terletak bersebelahan dengan benteng Concordia dan dipisahkan oleh sebuah sungai. Di kampung Cina telah berdiri rumah-rumah mewah dan elit, sedangkan disekitar klenteng tersebut merupakan tempat tumpukan barang-barang dan disitu berdiri 400 rumah gubuk dengan pagar bambu (A.J. Lombard & C.S. Lombard 1998:401). Pada tahun 1818, lokasi disekitar klenteng itu kemudian berkembang menjadi suatu pemukiman besar, sehingga Kampung Cina yang dahulunya hanya dikenal bersebelahan dengan benteng Concordia, kemudian menjadi meluas hingga ke pemukiman baru. Menurut Nji Tae Ho pemilik Toko Baroe-Baroe bahwa sekitar tahun 1910, jalan raya yang melintasi klenteng tersebut bernama Kampoeng Baroestraat atau Jl. Kampung Baru (KITLV 2008: 1402818). Saat ini, dikenal dengan Jl. Siliwangi.

Louis de Freycinet seorang warga Perancis dalam perjalanannya keliling dunia ( Voyage autour du monde sur les corvettes de S. M. l'Uranie et la Physicienne), tiba di Kupang, Timor pada tahun 1818. Ketika Freycinet mengunjungi klenteng tersebut yang dalam keadan rusak pada waktu itu, dia melihat di sana ada beberapa altar yang sarat dengan simulakra dewa-dewa dalam porselen, dan semacam tabernakel dari kayu berukir dan disepuh emas, patung berbentuk manusia yang lebih besar dari yang lain. Di malam hari, kuil mereka yang terletak di dekat tepi laut, diterangi dengan lentera kasa besar yang dicat. Disebelah kiri dan kanan dalam lokasi klenteng itu terdapat pohon besar, dan di sebelah klenteng itu terdapat sebuah sekolah bagi anak-anak Cina, dan sekitar puluhan murid bersekolah disekolah tersebut (A.J. Lombard & C.S. Lombard 1998:409-410;414). 

Freycinet kemudian mengetahui bahwa agama orang Cina terdiri dari tiga sekte. Sekte pertama adalah sekte cendekiawan, sekte ini didirikan oleh Konfusius 500 tahun sebelum masehi (SM). Sekte kedua adalah sekte yang dikenal sebagai sekte penyihir, menangani penyembuhan orang sakit melalui praktik magis. Sekte ketiga, terdiri dari "penyembah Fo" dan melekat pada agama Buddha India (A.J. Lombard & C.S. Lombard 1998:408).

Kongsi Sen-Tiong kemudian dibangun kembali (rebuilding) pada tahun 1856 dengan konstuksi pasangan batu. Pembangunan klenteng tersebut meliputi tiga (3) tahap, yaitu tahap pertama adalah pembangunan gedung induk pada tahun 1856; tahap kedua adalah penambahan aula belakang pada tahun 1857-1860; dan pembangunan serambi yang sudah tidak ada lagi pada tahun 1874. Patut disebutkan adalah fakta bahwa di antara kontributor utama pembangunan candi pada tahun 1856, adalah Tjam Sie yang diangkat sebagai kapten Cina di Kupang pada tahun 1849 (Dutch East Indies 1849:96). Kemudian kapten Cina di Bangka hingga kematiannya pada tahun 1876 dan Lay Hok Ko alias Li Xueke sebagai kapten Cina di Kupang pada tahun 1860 (Dutch East Indies 1860:130), dimana keduanya menyumbangkan 36 dun. Di antara mereka yang berkontribusi dalam pembangunan serambi adalah mayor Zhong Yixuan dan Tang Yiming sebagai kapten Cina di Dili, dan dua kapten di Kupang, yaitu Li Xueke alias Lay Hok Ko dan Zhong Jinsheng alias Tjoeng Kang Soe (C. Salmon and G. Xiao 1998:729). Lay Hok Ko digantikan Tjoeng Kang Soe sebagai kapten Cina (kapitein der Chinezen) di Kupang pada 12 Agustus 1866 (Dutch East Indies 1882:186).

Dari gambaran diatas, sebelum Kongsi Sen-Tiong hancur karena gempa dahsyat di Kupang pada tahun 1795 dan agresi Inggris di Kupang pada tahun 1797 serta kebakaran hebat yang melanda kampung Cina di Kupang pada tahun 1827, tidak pernah digambarkan secara jelas dan rinci tentang eksistensi kedua patung macan sesuai foto atau gambar yang beredar saat ini, terutama bersumber dari koleksi digital universitas Leiden (KITLV) dan Tropenmuseum. Ketika Kongsi Sen-Tiong sebagai tempat pemujaan orang-orang Tionghoa dibangun kembali (rebuilding) dari 1856-1874, juga tidak disebutkan atau terlihat eksistensi dari kedua patung macan sebagai penjaga gerbang bangunan Kongsi Sen-Tiong, terutama pada tahap pembangunan dibagian serambi pada tahun 1874. Oleh karena itu, kemungkinan besar atau diduga peletakan kedua patung macan di serambi Kongsi Sen-Tiong terjadi setelah (pasca) tahun 1874. 

Peletakan kedua patung macan sebagai penjaga gerbang bangunan Kongsi Sen-Tiong kemungkinan besar terjadi diantara tahun 1874 sampai 1910. Sejak eksistensi kedua patung macan ini, maka oleh penduduk setempat menyebut nama klenteng tersebut dengan “Kongsi Macan”, dan ada pula yang mengatakan “Kong Shi Macan”.

Eric Thake salah satu personil Angkatan Udara Royal Australia (RAAF) yang semula bekerja sebagai juru gambar, dan karena bakatnya ia kemudian diangkat sebagai seniman perang (warartist) di tahun 1944 pada liputan sejarah Perang Dunia II di Kupang, Timor. Thake juga mengunjungi Kongsi Sen-Tiong, dimana dindingnya dilapisi porselen indah berwarna hijau. Terdapat dua patung singa penjaga gerbang bangunan Kongsi Sen-Tiong di tepi Pantai Koepang. Menurut Thake patung-patung itu terlihat menawan walaupun sederhana. Patung singa ditutupi seluruhnya dengan pecahan porselin Cina. Sisi mereka adalah warna cokelat tua yang terbuat dari potongan mangkuk besar, dada dan perut ditutupi dengan sisik yang terbuat dari batu giok hijau dari piring. Sedangkan pada surai dan ekor berwarna hijau dan biru. Mata singa terbuat dari cangkir putih bundar dengan lubang di tengah, sepotong kaca hitam membentuk pupil mata, kaki kanan dari satu singa dan kaki kiri dari singa yang lain bertumpu pada bola hitam yang dihias dengan pola bunga putih. Dibelakangnya terdapat dinding porselen panjang berwarna hijau (Thake 2012). Pada tahun 1960-an, bangunan klenteng tersebut di robohkan untuk dibuat barisan pertokoan di sekitar lokasi tersebut (A.J. Lombard & C.S. Lombard 1998:409). 

EPIGRAFI CINA PADA PRASASTI YANG TERGANTUNG DI DINDING KONGSI SEN-TIONG PADA TAHUN 1818

Epigrafi adalah suatu cabang arkeologi yang berusaha meneliti benda-benda bertulis yang berasal dari masa lampau. Salah satu contohnya adalah prasasti. Louis de Freycinet seorang warga Perancis dalam perjalanannya keliling dunia ( Voyage autour du monde sur les corvettes de S. M. l'Uranie et la Physicienne), tiba di Kupang, Timor pada tahun 1818. Ketika Freycinet mengunjungi klenteng Kongsi Sen-Tiong yang dalam keadan rusak pada waktu itu, dia melihat bingkai-bingkai prasasti yang tergantung pada dinding klenteng tersebut. Namun apa maksud dari tulisan pada bingkai-bingkai itu, belum diketahui olehnya. Kemudian dia menyalin tulisan-tulisan tersebut sesuai dengan aslinya dalam buku catatannya. 

Sekembalinya ke Perancis, dia mengusulkan kepada seorang temannya yang bernama Abel Rémusat untuk memeriksa tulisan-tulisan tersebut. Ini adalah upaya pertama mereka untuk mengetahui epigrafi Cina pada klenteng Kongsi Sen-Tiong di Kupang, Timor. Ternyata berdasarkan hasil dari pemeriksaan terhadap epigrafi Cina tersebut, tulisan-tulisan itu menggambarkan tulisan pada batu nisan di makam atau kuburan. Tulisan tentang tiga (3) batu nisan dari pemakaman Cina di Kupang, pertama kali dipublikasi pada Voyage découvertes au Terres australes, 2nd ed. (1824). Berikut ini adalah arti atau terjemahan dari epigrafi Cina pada prasasti yang tergantung pada dinding Kongsi Sen-Tiong:

No.1. (1783) 

“Makam mendiang ibu kami, wanita Zhang Cihui, née Guo, memiliki gelar ruren dan yang hidup selama dinasti Qing; Didirikan pada hari yang baik di pertengahan musim gugur tahun guimao era Qing dari Qianlong oleh kedua putranya yang saleh, Feilong dan Rong (?) dan oleh kedua putrinya Zhenniang dan (?)niang”. 

No.2. (1803) 

“Makam mendiang Tuan Wang Shunxing, alias [Ya]ying, penduduk asli Jiangpu (distrik Nanhai, Guangdong) dan putrinya Binniang, [...] pada hari yang menyenangkan di bulan musim semi pertama tahun kedelapan era Jiaqing; didirikan oleh menantunya Li Senliu dan putrinya Baoniang".

No.3. (1813) 

Makam mendiang ayah kami, Tuan Li Jingtang, alias Chengyou, memiliki jabatan Kapten dan gelar daxuesheng, didirikan pada hari yang baik di bulan pertama musim panas di tahun ke-18 era Oing dari Jia[qing] olehnya putra, termasuk Kairong. Almarhum pernah tinggal di wilayah selatan Jiaying (Guangdong) [...] Senliu [...].

Catatan : Tanda dalam kurung menunjukkan karakter yang bacaannya diragukan atau karakter yang sama sekali tidak dapat dipahami dengan karakter wei sesuai dengan penggunaan epigraf Cina.

Ketiga prasasti ini menarik karena beberapa alasan. Pertama-tama, mereka menunjukkan bahwa orang Tionghoa di Kupang, seperti orang-orang di pulau-pulau lain di Nusantara, tetap sangat terikat dengan adat-istiadat negara asal mereka, dan bahwa orang-orang terkaya di antara mereka memiliki batu nisan yang terukir dalam tradisi terbaik; karakter, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan, termasuk beberapa warna seperti yang kadang-kadang masih dilakukan sampai sekarang. Kemudian, mereka memberikan gambaran sekilas tentang asal geografis para emigran. Dan akhirnya, mereka membuktikan ikatan keluarga antara keluarga makam 2 dan 3.

Yang pertama milik seorang wanita Cina yang, mungkin tanpa pangkat tinggi, setelah kematiannya, diberikan gelar kehormatan ruren. Secara teoritis dikaitkan dengan istri pejabat peringkat ketujuh atau di bawah, kadang-kadang juga ditemukan di Cina di makam wanita yang tidak ada gelar yang diberikan selama hidup mereka. Itu adalah cara memberi mereka status sosial setelah kematian. 

Makam kedua menunjukkan bahwa almarhum adalah penduduk asli provinsi Guangdong dan makam ketiga menunjukkan bahwa Li (Lay) berasal dari distrik Jiaying di timur laut Guangdong, oleh karena itu tentu saja Hakka. Kita juga tahu bahwa pada abad ke-20 masih ada di Timor, terutama di bagian timur (Timor Leste), komunitas Hakka yang besar. Kapten Li Jingtang, bagi Kupang adalah yang tertua yang namanya dilestarikan. 

Timbul suatu pertanyaan, mengapa ada bingkai-bingkai prasasti yang tergantung pada dinding klenteng (tulisan-tulisan pada batu nisan) tersebut? Ternyata nama dari tiga (3) batu nisan tersebut adalah orang-orang yang mendirikan klenteng Kongsi Sen-Tiong. Klenteng tersebut pada awalnya didirikan dengan konstruksi kayu.


Sumber : 

1847, G.Heijmering. Geschiedenis Van Het Eiland Timor. Tijdschrift Voor Nederland’s Indie. Deerde Deel.

1849, Dutch East Indie. Almanak En Naamregister Van Nederlandsch-Indie, Voor 1849.

1850,.H.C. Millies. De Chinezen In Nederlandsch Oost-Indie En Het Christendom.

1860, Dutch East Indie. Almanak En Naamregister Van Nederlandsch-Indie, Voor 1860.

1882, Dutch East Indies. Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Inde. Tweede Gedeelte. Kalender en Personalia.

1937, G.P. Rouffaer.Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië.

1998, J.A. Lombard & S.C. Lombard. Les Chinois de Kupang (Timor), aus alentours de 1800.

1988, Claudine Salmon and Guojian Xiao. Chinese Epigraphic Materials in Indonesia, Volume II, Part 2. South Seas Society.

2007, Steven Farram. Hazaart and the British interregnum in Netherlands Timor, 1812-1816.

2012, Eric Thake. Kupang in Sketch.

Tags

Top Post Ad

Copyright © 2022 By Media Kota News.com | Powered and Design By Media Kota News.com